Senin, 02 April 2012

Bunga Rampai Arsitektur Islam Bagian III (KAJIAN ARSITEKTUR ISLAM MASJID AGUNG DEMAK)


KAJIAN ARSITEKTUR ISLAM MASJID AGUNG DEMAK

Oleh :
Heri Hermanto



Arsitektur tradisional  Indonesia adalah  merupakan  karya yang  lahir dari budaya dan sistem nilai setempat, termasuk didalamnya terdapat nilai-nilai Agama Islam, metoda perancangan, kemampuan adaptasi terhadap lingkungan juga telah teruji oleh waktu dan tempat. Maka hal yang terpenting adalah hasil karya tersebut telah mencerminkan budaya dan identitas dari bangsa kita. Salah satu hasil karya arsitektur tradisional tersebut adalah Masjid Agung Demak.yang diyakini adalah merupakan salah satu contoh bangunan arsitektur Islam.
Produk Arsitektur Islam tradisional di Indonesia khususnya Masjid Agung Demak secara nyata telah mampu mengintegrasikan ajaran Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius). atau unsur yang dimiliki oleh lokalitas ataupun budaya setempat sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu, yang tetap bertahan sepanjang jaman.
Kata kunci : Arsitektur Islam, Masjid, Lokal Genius.

A.     MASJID DEMAK SEBAGAI KARYA ARSITEKTUR ISLAM

Suatu kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa Arsitektur tradisional lokal  yang merupakan warisan nenek moyang kita adalah cenderung relegius, relegius disini diartikan sebagai sikap taat terhadap penciptaNya. Maka banyak karya arsitektur tradisional yang berangkat dari ajaran agama , karya tersebut lahir dari budaya dan sistem nilai setempat, metoda perancangan juga telah teruji oleh waktu dan tempat, karenanya kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan kondisi bangsa ini tentu juga telah teruji. Maka hal yang terpenting adalah hasil karya tersebut telah mencerminkan budaya dan identitas dari bangsa kita. Salah satu hasil karya arsitektur tradisional tersebut adalah Masjid Agung Demak.yang diyakini adalah merupakan salah satu contoh bangunan arsitektur Islam.
Kemudian jika kita kaji dari ayat Al Qur’an dan hadist serta berbagai sumber otentik dari prinsip-prinsip nilai-nilai Islam lainnya, maka kita akan mendapatkan sebuah kenyataan bahwa tidak ada batasan yang tegas dan baku tentang perancangan sebuah bangunan atau masjid di dalam Agama Islam. Dari hal tersebut diatas , Islam tidaklah memberi batasan atau difinisi yang tegas mengenai aspek fisik (being reality) dalam pruduk Arsitekturnya, tetapi memberi batasan yang tegas tentang aspek makna ( meaning reality),
Berkaitan dengan hal tersebut dalam Al Qur’an surat At-Taubah ayat 108 dinyatakan :

”...............sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.

Sehingga kalau kita lihat hasil karya arsitektur tradisional Islam yang ada di Indonesia khususnya masjid tradisional seperti Masjid Agung Demak, adalah merupakan sebuah produk pemikiran Islam yang terlahir dari interaksi antara prinsip-prinsip dasar Islam dengan pemikiran masyarakat ketika itu.
Produk Arsitektur Islam tradisional di Indonesia khususnya Masjid secara nyata telah mampu mengintegrasikan ajaran Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius). Lokal Genius dapat diartikan sebagai segala unsure yang dimiliki oleh lokalitas ataupun budaya setempat sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu, penyebutan unsur-unsur setempat dengan istilah genius menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut mempunyai kekuatan atau ketahanan tertentu yang hanya dimiliki olehnya.
Kedudukan local genius didalam mekanisme pengekpresian identitas Arsitektur Islam ini berada pada tempat yang sentral, sebab ia merupakan kekuatan yang mampu bertahan serta menyeleksi unsur-unsur luar yang datang serta mangakomodasikan menjadi kekayaan bagi budaya setempat. Local genius sekaligus berperan dalam memberi warna serta karakter pada wujud ekspresi suatu karya Arsitektur. Quaritch Wales menyatakan bahwa pengaruh penerimaan budaya local terhadap budaya asing dengan less extreme acculturation artinya bahwa  melalui akulturasi tersebut pengaruh budaya yang datang diterima dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan perkayaan budaya setempat, keadaan tersebut dapat berlangsung karena adanya local genius yang dimiliki oleh budaya setempat.
Keberadaan Masjid Agung Demak tidak hanya diakui oleh negara Indonesia saja bahkan negara-negara luarpun mengakui keberadaannya. OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengakui keberadaan Masjid Agung Demak sebagai monumen bagi masyarakat muslim yang memiliki arsitektur khas sesuai dengan dinamika zamannya. Masjid Agung Demak memiliki arsitektur khas masyarakat muslim Nusantara, membedakan dengan umumnya bangunan masjid di Jazirah Arabia yang menggunakan kubah. Masjid Agung Demak menggunakan atap bersusun tiga berbentuk segitiga sama kaki, konon setiap bagian mengandung makna yang tersirat dari bentuk-bentuk yang terwujud.
Demikian halnya dengan lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dan bagian yang lain, diharapkan mengingatkan setiap manusia akan adanya rukun Islam yang lima yakni syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedang enam jendelanya melambangkan rukum iman yakni percaya kepada Allah SWT, percaya kepada rasul-rasulNya, percaya kepada kitabNya, percaya kepada malaikatNya, percaya akan datangnya kiamat dan qada qadar.
Masjid Agung Demak luas keseluruhannya berukuran 24 x 24 meter persegi, serambi berukuran 31 X 15 meter dengan panjang keliling 35 X 2,35 meter, tatak rambat ukuran 25 X 3 meter dan ruang bedug berukuran 3,5 X 2,5 meter. Keseluruhan bangunan ditopang 128 soko, empat di antaranya soko guru yang menjadi penyangga utama bangunan masjid. Jumlah tiang penyangga masjid 50 buah, sebanyak 28 penyangga serambi dan 34 tiang penyangga tatak rambat, sedang tiang keliling sebanyak 16 buah. Bentuk bangunan itu lebih banyak memanfaatkan bahan dari kayu yang banyak ditemukan di sekitarnya.
Hampir seluruh bangunan mulai dari atap (genting), kerangka konstruksi, balok loteng, geladag, soko guru, dan lain–lain terbuat dari kayu jati ukuran besar.
1.                        Seperti pada arsitektur Jawa pada umumnya termasuk masjid-masjid di Jawa atapnya bersusun tiga. Bagian ke tiga atau puncak berbentuk piramidal tersebut disangga oleh empat tiang utama yang terbuat dari kayu jati atau soko guru yang sangat besar.









B.     RAGAM HIAS MASJID AGUNG DEMAK

Disamping Bentuk dan struktur  bangunan yang secara maksimal telah memanfaatlan lokal genius yang ada,  Masjid Agung Demak dalam hal  ornamen interior di bagian dalam ruang utama memanfaatkan kayu. Seni ukir yang berkembang ketika itu menjadi bagian dari masyarakatnya sehingga masjid memanfaatkan berbagai karya ukir yang khas untuk menambah keindahan masjid dengan interiornya. Tanpa mengurangi hakikat yang melekat dengan keberadaan masjid, seni ukir menjadi bagian dari kehidupan masyarakat muslim sebagaimana kaligrafi yang memanfaatkan huruf-huruf indah sebagai cabang ilmu yang berkembang di seluruh dunia Islam. Ornamen Masjid cukup banyak, berupa keramik dengan lukisan flora dan fauna, kebanyakan berupa burung, bunga, daun dan dahan. Dapat dipastikan ini adalah pengaruh Cina, mengingat dalam sejarahnya tidak sedikit pendatang dari Cina bermukim di Demak, termasuk Cek Ko-Po yang adiknya atau anaknya menjadi salah seorang pendiri kerajaan Demak, yaitu Sultan Trenggana.
Masjid Demak terletak dalam tata ruang yang tidak terlalu berbeda dengan masjid Tuban dan Banten. Kabupaten letaknya agak berbeda dengan di Banten, berada di utara-agak ke barat sedikit, namun tetap dalam posisi segitiga dengan masjid dan alun-alun, diperjelas dengan sumbu jalan. Alun-alun selain berfungsi menyatu dengan masjid sebagai halaman, juga berfungsi sosial, budaya dan religi (Syncretism) Islam. Antara lain alun-alun digunakan untuk upacara grebeg, adat, pesta rakyat dan pemerintah yang dikaitkan dengan tradisi setiap Syawal dan Idul Adha. Di sekeliling masjid terdapat Kauman, permukiman orang-orang muslim menjadi elemen ke empat, pasar dan pecinan di utara menjadi elemen ke enam dan ke tujuh. Di selatan alun-alun saat ini ada lingkungan diberi nama Kampung Sitinggil. Nama ini kemungkinan diambil dari nama bagian dari keraton yang sudah ada sejak jaman Majapahit, hingga jaman Islam, tempat di mana raja atau sultan duduk berdialog dengan rakyat.

·         Mihrab
Gambar ini memperlihatkan mihrab atau tempat pengimaman, dimana di dalamnya trerdapat hiasan seperti gambar bulus merupakan prasasti yang diartikan sebagai Condro Sengkolo maksudnya Sariro Sunyi Kiblating Gusti, ada yang menginterpretasikan, kepalanya

menunjukkan angka 1, kakinya 4, badan 0 dan ekor 1, lambang dari tahun didirikannya tahun Saka 1401 atau 1479 Masehi. Jadi, selain memperindah ruang an juga memberi makna kapan masjid agung didirikan. Hiasan ini termasuk menonjol dibanding ragam hiasan yang lain, dan mempunyai daya tarik tersendiri Hiasan berupa bulus ini berunsurkan budaya Jawa, sebab dalam Bahasa Jawa kata bulus dapat diartikan secara “jarwa dasa” yakni “mlebu alus”, yang dimaksud bahwa setiap orang yang masuk ke dalam masjid hendaknya berjiwa halus, melepaskan kesombongan, dan membuang jauh-jauh sifat-sifat keras atau kasar.
Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk kotbah, konon benda arkeologi itu disebut Damper Kencono warisan dari Majapahit. Pada dinding tembok Mihrab juga terdapat ornament Illahiyah, Keramik Annam dari Campa, Logo Surya Majapahit.

·         Maksurah
Bangunan kayu berukir dinamakan Maksurah atau Kholawat yaitu tempat untuk Mujahadah Adipati jaman dulu. Artefak bangunan berukir peninggalan masa lalu ini memiliki nilai dan bangunan estetika yang unik dan indah, sehingga relatif mendoinasi keindahan di ruang dalam masjid. Maksurah ini dipergunakan penguasa dakam menunaikan sholat dan Munajat untuk memperoleh barokah, rahmat dan hidayah Allah SWT. Dilluar maupun di dalam artefak terdapat tulisan berukir dengan bahasa dan huruf Arab yang intinya memuliakan Keesaaan Tuhan. Prasasti di dalam aqsuro menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M yang saat itu Adipati Demak dijabat K.R.M.A. Aryo Prubaningrat.





·         Dampar Kencana



Sebelah kiri adalah gambar Dampar Kencana, sedangkan sebelah kanan adalah tempat (wadah) untuk meletakkan Dampar tersebut. Dampar Kencana ini adalah benda Arkeologi peninggalan Majapahit abad ke 15.  konon ini hadiah untuk Raden Pattah – Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke 5 / Raden Kertabumi. Dalam rangka perluasan dan renovasi masjid Demak, atas saran R. Fatahillah kepada Sultan Demak ke 3 R. Trenggono, maka pendopo dan Dampar Kencana dari Majapahit dialih funngsikan menjadi serambi Masjid dan menjadi Mimbar Khotbah di Masjid Agung Demak sampai saat ini.            

·         Soko Guru
Yang tampak pada gambar adalah empat Soko Guru atau tiang utama konstruksi penyangga kerangka dan atap Masjid, empat tiang utama menggambarkan, betapa para Wali menerima ajaran agama Islam yang bersumber dari ajaran Syafi’iah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah), sebagai implementasi dari iman, Islam dan ikhsan. Fomasi tata letak 4 Soko Guru : yang ada di barat laut didirikan oleh Sunan Bonang-Tuban, yang di barat daya dari Sunan Gunung Jati-Cirebon, di bagian tenggara oleh Sunan Ampel-Surabaya, yang berdiri di timur laut oleh Sunan Kalijaga-Kadilangu Demak (masyarakat menamakan soko ini dengan nama Soko Tatal).


·          Soko Majapahit
Delapan buah soko guru serambi Masjid Agung Demak ini adalah benda purbakala asal kerajaan Majapahit, konon hadiah dari Prabu Brawijaya V R. Kertabumi, ayahanda R. Jimbun, R. Hasan, R. Patah sebagai Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro, Demak 1475.

·         Pawestren
Bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jamaah wanita ini dinamakan Pawestren, jumlah tiang penyangga 8 buah dimana 4 batang tiang utama ditopang belandar balok susun tiga yang diukir motif Majapahit. Luas lantai yang bermanfaat untuk sholat membujur kiblat berukuran 15 x 7,30 m. bila dilihat dari bentuk motif pada Maksurah tahun 1866 M Pawestren mungkin dibuat pada jamannya K. R. M. A. Arya Purbaningrat.

·         Pintu Bledeg
Pintu Bledeg (petir) ini ciptaan Ki Ageng Selo pada jaman Wali, konon beliau yang memiliki kesaktian itu dapat menangkap petir, kemudian daun pintu yang terletak di tengah Masjid itu orang menamakan “Pintu Bledeg”. Sesungguhnya “Prasasti” ini merupakan Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H yang diprediksi sebagai tanda perletakan batu pertama pembangunan Masjid.




·         Surya Majapahit
Gambar hiasan segi 8 ini sangat populer pada masa Kerajaan Majapahit, sehingga para ahli purbakala menafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit yang dinamakan Surya Majapahit, pada Masjid Agung Demak terdapat beberapa hiasan Surya Majapahit. Makam Jumadil Kubro ( Guru besar para wali ) di Troloyo terdapat tulisan Jawa Kuno angka tahun 1376 – 1611 M, terletak didalam situs Trowulan bekas Kerajaan Majapahit di Mojokerto Jatim. Batu Nisannya juga terdapat hiasan Surya Majapahit, bahkan disertai tulisan Arab yang memuat surat Ali Imron ayat 18 dan 185 serta kalimah Syahadat. Inti tulisan tersebut adalah mangakui keesaan Allah SWT yang bersifat kekal. Hal itu mengidentifikasikan telah ada penduduk atau bangsawan beragama Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lainnya yaitu Hindu – Budha pada zaman nenek moyang kita.

·         Bedhug dan Kenthongan
Bedhug dan Kenthongan, dua benda ini merupakan pasangan yang serasi. Kedua benda ini merupakan hasil ciptaan Sunan Kalijaga, yang digunakan untuk memberi tahu yang belum mengetahui arti panggilan adzan.
Makna filosofis yang terkandung dari suara bedhug dan suara kenthongan adalah dheng … dheng … dheng …, berarti sedheng artinya masih cukup untuk menampung jamaah yang akan sholat. Sedangkan suara kenthongan thong … thong … thong … mengandung maksud bahwa mushola/masjid masih kothong (kosong atau belum berisi), dilanjutkan dengan adzan yang memerintah agar Umat Islam segera melakukan sholat berjamaah. Kedua alat ini merupakan alat yang tidak asing bagi masyarakat.
Ditinjau dari seni budaya alat itu disamping sebagai alat panggilan sholat, juga berfungsi sebagai seni atau alat komunikasi secara tradisional, bahkan sampai saat ini kedua alat itu masih digunakan sebagai pelengkap pada masjid-masjid. Bedhug dan kenthongan yang asli buatan Sunan Kalijaga masih terawat baik di Museum Masjid Agung Demak.



C.     KESIMPULAN

1.      Produk Arsitektur Islam tradisional di Indonesia khususnya Masjid Agung Demak secara nyata telah mampu mengintegrasikan ajaran Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius).
Masjid Agung Demak, adalah merupakan sebuah produk pemikiran Islam yang terlahir dari interaksi antara prinsip-prinsip dasar Islam dengan pemikiran masyarakat ketika itu

1 komentar

Eflahelmuna.blogspot.com 5 Desember 2014 pukul 00.57

Salam,
Saya mahasiswa Indonesia di Tunisia. Saya tertarik dengan beberapa tulisan bapak dan hendak menerjemahkan salah satunya ke dalam bahasa Arab. Kebetulan saya juga mempelajari Arsitektur Islam di sini dan hendak mengenalkan Kebudayaan Islam yang ada di Indonesia. saya mohon bapak berkenan memberikan contact agar bisa sharing. terimakasih..
Wassalam.

Posting Komentar